Karena bosan dengan temple-temple emas yang hampir serupa dan bingung mau kemana lagi di Yangon, akhirnya kita tetap pada rencana perjalanan yaitu mengunjungin Kandawgyi Lake. Sebelum jalanpun saya tidak tahu apa sih sebenarnya Kandawgyi Lake itu, apakah tempat ibadah di tepi danau atau tempat bersejarah yang ada di tepi danau. Sewaktu membuat rencana perjalanan, gambar Kandawgyi Lake selalu ada ketika saya search Yangon di google image.
Ketika itu hari panas banget, cobaan lainnya adalah, waktu itu period Day-1. Sungguh sungguh ribet, selain mules-mules, harus bolak balik ke toilet umum di negeri orang yang kondisinya gak bersih itu buat saya makin mules-mules. Informasi penting lainnya adalah, kondisi toilet umum di Railway Station begitu memprihatinkan. Entahlah bagaimana lagi mendeskripsikannya, pakai sandal pun saya masih jinjit-jinjit karena takut kena lantainya -_- .
Setelah menghibur diri dengan minuman dingin, saya dan teman-teman pun langsung mencari taksi menuju Kandawgyi Lake. Lupa berapa harganya, yang jelas, berapapun akan kami bayar daripada harus berpanas-panas ria menuju Kandawgyi Lake dan ternyata waktu itu dapat diskon dari supir taksi hihihi..
Setelah beli tiket, kami pun masuk menuju Kandawgyi, sebuah bangunan unik di tepi danau. Ternyata Kandawgyi adalah sebuah restoran! ZZZzzzzz hahahaha, makanya neng baca dulu atuh yang bener sebelum dikunjungi 😀 .
Nyesel sih enggak doong.. kan tetep bisa foto-foto puass.. karena restonya ternyata tutup dan sepi dan saya pun gak lupa foto-foto di tepi danau. Oh iya,setelah dari sini, senja mulai datang.. dan untuk menuju keluar area taman kita harus melewati jembatan yang panjaaaang. Saya suka sekali! Banyak biksu-biksu jalan sore dan penduduk-penduduk yang berolah raga, sungguh menyejukkan hati kami para turis yang mulai kelelahan jalan kaki..hahaha dasar manja! Kami pun bergegas meninggalkan Kandawgyi Lake untuk menuju tujuan utama kami hari ini dan tempat paling hits di Yangon: Shwedagon Pagoda.
Waktu menujukkan pukul 10.00 ketika saya dan teman-teman menuju Railway Station dengan taksi. Sewaktu masih merencanakan perjalanan, saya pernah baca sebuah sumber yang menyebutkan kalau naik kereta di Myanmar bakalan sampe lebih lama dibandingkan dengan naik bus yang lebih cepat. Ho? Sounds weird eh?
Kami pun tiba di stasiun kereta yang kondisinya.. ya seperti kebanyakan stasiun di Jakarta (dengan kondisi di yangon lebih dramatis hehe). Setelah membeli tiket, sayapun menatap kereta butut non ac dan membatin “oh ini pasti membosankan. 3 jam. Dengan kereta butut.” . Tetapi kapan lagi? Tentu naik kereta api butut akan membuahkan pengalaman yang unik.
Kereta pun jalan sekitar pukul sebelas, berarti pukul dua siang baru akan selesai. Dan kereta mulai jalan.. dengan… sangat…. lam… bat. 45 menit pertama terasa menyenangkan, angin semilir membuat saya ngantuk. Pemandangan di luar serupa dengan Jakarta. Hanya saja mata saya dihiasi oleh pria besarung dengan gigi berwarna merah dan gadis-gadis ber-tanaka di pipinya.
Penduduk lokal yang berhadapan dengan kami pun tak henti-hentinya memandangi kami dengan heran. Teman saya, Citra, sudah memperingatkan saya, jangan berdandan terlalu ‘seronok’. Seronok disini berarti, “jangan dandan yang keliatan banget kalo kita ini turis..”. Tapi, apalah saya ini, pelancong yang selalu heboh bawa baju ini itu, kemudian pagi itu memutuskan memakai kaos biru, celana jeans pendek, tas hitam kebanggan bertuliskan ‘National Geographic’ dan tak lupa kacamata cengdem. Walhasil, muka lokal, penampilan turis :p . Teman saya cuma bisa geleng-geleng.
Kembali ke cerita di dalam kereta, saya sungguh menikmati satu jam pertama. Menikmati pemandangan pemuda-pemuda bergigi merah dan gadis-gadis ber-tanaka yang sibuk memperhatikan kami. Menikmati cara mereka membeli berbagai macam cemilan di kereta. Persis seperti di Jakarta beberapa tahun silam, ketika saya masih kuliah menggunakan kereta ekonomi *duh udah lama ya. Kami pun tak tertahankan foto-foto di dalam kereta, yang semakin memperjelas kalau kami adalah turis. Namun, deg-degan pun hilang, mereka semua ramah, meski beberapa pria di depan saya bermuka preman blok M tingkat advance dengan tatapan mata yang cukup mengintimidasi dan sukses buat saya bergidik takut dibalik kacamata cengdem saya.
Selang beberapa jam, ada kejadian sungguh unik dan (sekali lagi) membuat saya dan teman-teman keheranan sampai akhirnya saling menertawakan. Saat itu kondisi kereta tidak penuh dan masih banyak jarak di antara penumpang. Lalu kemudian kereta berhenti di sebuah stasiun dan serangan Sayur pun terjadi. Serangan sayur? Iya sayur! Tiba-tiba orang beramai-ramai segeradak geruduk berlomba masuk kereta, melempar sayur sana sini untuk menempati tempat duduk, tak sedikit yang melempar sayur dari luar jendela ke tempat duduk di kereta untuk menandai itu tempat duduk mereka. Serangan pun berlanjut ke serangan penduduk local yang akhirnya mereka heboh rebutan tempat duduk, hingga kami pun terhimpit keheranan. Hahahaha.. kebayang deh muka O’on kita, muka eh-eh-ada-apa-inih? Waktu serangan-serangan terjadi dengan terkaget-kaget.
Setelah itu, waktu berjalan sangat lambat. Kereta ini berjalan lebih lambat bemo atau bajaj yang ada di Jakarta atau mungkin, lebih cepat dengan bersepeda. Bagaimanapun juga, saya tidak menyesal menghabiskan waktu tiga jam di kereta lambat ini. Pengalaman memang tidak bisa ditukar dengan apapun. Tips dari saya, naik Circular Train tidak disarankan bagi traveler yang cepat bosan. Apabila sudah terlanjur terjebak, bisa turun di stasiun ketika kereta berhenti (seperti yang dilakukan 2 turis eropa sewaktu bareng-bareng naik kereta dengan kami).
Kereta selesai! Sekarang mari nikmati sore di Kandawgyi Lake!